Senin, 20 November 2017

Mangga Avocado Jenis Gadung 0021

Yang Segeer

Mangga Asli Indonesia Qualitas Ekspor

Yg minat japri

"Ngene Cak Ton, sudah banyak mangga avocado yg dipalsukan...dari harga pasti kelihatan ....jika harga terlalu murah itu mangga gadung biasa..bukan varietas mangga avocado (jenis gadung 0021)"

Satu karton dengan berat masing masing

5 Kg dan 12 Kg

Variant 
*1 Kg 2 buah
*1 Kg 4 Buah

Harga jakarta @. 45rb / Kg

#adahargapromosi
#haraptenang hehehe
#dilakoni ae

Salam Seger Selalu
Tony Jualan Mangga

Wa. 0813 10 112 168


Rabu, 15 November 2017

Mencium Hajar Aswad



Di Masjidil Haram, sehabis menyelesaikan tawaf, saya segera menepi mencari tempat strategis yang berhadapan langsung dengan multazam untuk berdoa.

Akhirnya saya menemukan tempat yang kebetulan lowong di hadapan ka'bah. Lalu saya bersimpuh dan memanjatkan do'a sambil menunggu waktu subuh menjelang.

Saat itulah saya melihat seorang lelaki hitam legam dari benua afrika datang dan langsung mengambil tempat di samping kanan.

Terlintas dalam hati, "dengan potongan perawakan dan tampang seperti ini, lelaki kulit hitam ini pasti orang kasar yang tidak berpendidikan".

Lalu sebagaimana kebiasaan di masjid ketika duduk bersebelahan dalam satu jamaah, saya menyalaminya.

Tiba-tiba ia bertanya dengan bahasa inggris yang bagus sekali tentang asal saya. "Saya dari Nigeria, kamu dari mana?".  Saya bilang, saya berasal dari Indonesia.

"kenapa orang Indonesia suka sekali berusaha mencium batu hajar aswad"?, tanyanya memulai percakapan.

"Mungkin karena cinta. Kabah adalah rumah Tuhan, dan hajar aswad adalah batu yang pernah dicium Rasulullah. Maka mencium hajar aswad adalah refleksi cinta orang Indonesia terhadap Tuhan dan Rasulnya", jawab saya sekenanya.

"Apakah orang Indonesia juga bertingkah laku seperti itu terhadap cinta Allah SWT yang dianugerahkan kepada mereka?", katanya.

"Maksud anda?, cinta Allah SWT seperti apa yang dianugerahkan kepada kami"?, jawab saya dengan bingung.

Lalu lelaki hitam itu menjawab, "jika Allah Taala menganugerahkan kalian istri, anak-anak dan orang tua yang masih hidup, itulah wujud cinta Allah kepada kalian.

"Pertanyaan saya", katanya

"Apakah orang-orang Indonesia, berusaha dengan keras dan gigih mencurahkan kasih sayang terhadap anak, istri dan orang tua mereka yang masih hidup yang diamanahkan Allah Taala sebagaimana mereka berusaha mencium hajar aswad, "? Katanya.

"Jika terhadap batu saja refleksi cinta kalian begitu dahsyat, lebih lagi terhadap makhluk Allah yang telah diamanahkan kepada kalian"?, tegasnya lagi.

Saya tercekat, terdiam dan tak mampu berkata lagi.

Apalagi saat ia bercerita bahwa ia menyelesaikan PhD-nya di AS namun memilih pulang membesarkan anak-anaknya yg 6 orang agar mampu menjadi muslim yang baik.

Maka hancurlah semua persangkaan saya terhadap orang ini. ALLAH membayarnya langsung tunai saat itu juga.

Setelah shalat subuh, sebelum berpisah ia memberi nasehat yang sampai saat ini masih teringat di kepala saya.

"Keberhasilan haji kita, mabrur atau tidaknya dinilai bukan pada saat kita menyelesaikan ritus-ritus haji seperti tawaf atau bahkan mencium hajar aswad, namun dinilai pada saat kita kembali.

Apakah kita mampu menunaikan amanah-amanah, anugerah-anugerah, kasih sayang Allah Taala kepada kita dengan bersungguh-sungguh, bersusah payah, mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang kita cintai, pekerjaan dan masyarakat."

Saya genggam tangannya, saya memeluknya dan menyampaikan terima kasih.

Saat dia pergi diantara kerumunan orang, saya faham, inilah cara Allah Taala menegur saya dan menyampaikan makna mencium hajar aswad.

-fj-
(Terima kasih utk fotonya haji said)


Senin, 13 November 2017

40th

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

(Bahasa Indonesia)
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".

-Sura Al-Ahqaf, Ayah 15


Jumat, 10 November 2017

Takbir dibalik Tabir

Media Kuno Belanda 1

Fanatisme Islam dan Khilafah, Akar Utama Perlawanan Nusantara

Perpustakaan Kerajaan Belanda telah merilis di internet surat kabar lama Belanda tahun 1618-1995. Surat kabar lama tersebut bisa memberikan informasi tentang peristiwa-peristiwa bersejarah yang ditulis pada saat peristiwa tersebut terjadi, sebelum ada pihak yang sempat duduk dan memikirkan bagaimana peristiwa tersebut ingin diingat oleh sejarah. (baca ulasan sebelumnya: Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah dalam Pandangan Media Kuno Belanda)

Deskripsi Belanda tentang perlawanan di Indonesia

Bertentangan dengan apa yang diklaim oleh buku-buku sejarah Belanda hari ini, Belanda menghadapi perlawanan secara terus-menerus selama periode 1859 – 1930. Mengenai kenyataan perlawanan ini, buku-buku sejarah ini mengklaim bahwa perlawanan di Indonesia disebabkan oleh nasionalisme. Dikatakan bahwa beberapa orang Indonesia menginginkan negara mereka sendiri dan karenanya memberontak melawan Belanda.

Namun klaim tersebut dibantah oleh apa yang diberitakan oleh surat kabar Belanda pada periode 1850 – 1930. Selama masa itu, pendapat umum yang muncul adalah Islam-lah yang menyebabkan Indonesia memberontak.

Surat kabar Belanda pada periode 1850 – 1930 menungkap bahwa pendapat umum yang muncul saat itu adalah Islam-lah yang menyebabkan Indonesia memberontak.

Misalnya surat kabar Algemeen Handelsblad mengatakan pada tahun 1859 mengenai pemberontakan di Bandjarmasin yang telah disebutkan di atas:

“Kami ingin mempertimbangkan kembali penyebab kejadian di Bandjarmasin, berkaitan dengan kejadian pemberontakan lainnya di wilayah lain. Kami telah melihat bahwa, menurut laporan yang diterima oleh mister Van Twist dari sumber yang sangat andal, pemberontakan di bagian tenggara Kalimantan dapat ditandai sebagai Mohammedan, atau anti-Eropa”.

Dengan kata lain, menurut surat kabar Algemeen Handelsblad, kesamaan antara pemberontakan di Bandjarmasin, pemberontakan di Kalimantan, dan pemberontakan di bagian lain Indonesia, adalah bahwa semuanya disebabkan oleh keIslaman orang Indonesia.

Ketika melihat kasus-kasus perlawanan Indonesia lainnya melawan penguasa kolonial Belanda, surat kabar-surat kabar Belanda juga menuduh Islam sebagai akar permasalahannya. Misalnya pada tahun 1864 surat kabar Algemeen Handelsblad menulis tentang pemberontakan di Tegal: “Troeno (…) mencoba untuk membuat orang-orang Tegal memberontak melawan peraturan Eropa. (…) Ternyata dia menggunakan fanatisme sebagai alat untuk ini”. Kata fanatisme dalam surat kabar pada waktu itu berarti Islam.

Pada tahun 1885 surat kabar Het Nieuws van den Dag bahkan mengatakan bahwa orang Indonesia memandang perlawanan mereka sendiri sebagai Jihad, sebuah motivasi yang murni Islam. Jihad diterjemahkan menjadi prang sabil dalam bahasa Indonesia: “Di Sukabumi, masyarakat sekarang memiliki lima tempat di mana kelompok-kelompok agama bisa berkumpul. (…) Orang-orang yang menjadi anggota kelompok ini, para fanatik, tetap bersama setelah sholat Jumat untuk membahas prang sabil, Perang Suci. (…) Lihat apa yang sedang terjadi di Sukabumi. Apakah ini tidak cukup berbahaya?”.

Sulit dibayangkan sebuah bukti yang lebih jelas yang menunjukkan bahwa perlawanan Indonesia melawan penjajahan Belanda dimotivasi oleh Islam.

“Prang sabil” adalah headline di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 5 Juni 1906

Pada tahun 1894 surat kabar Algemeen Handelsblad bahkan menyatakan bahwa tidak ada penjelasan lain selain Islam yang bisa menjelaskan perlawanan terhadap Belanda:

“Ras yang berkuasa sangat toleran terhadap orang lain, pemberontakan di Pulau Lombok kemungkinan besar, menurut mereka yang akrab dengan mereka seperti Mr. Willemsen, disebabkan oleh fanatisme Muhammad.”

(Baca Juga: Mengapa Jihad Begitu Ditakuti Barat Sejak Dahulu Kala?)

Dan ketika surat kabar tersebut Het Nieuws van den Dag menulis adanya hubungan antara perlawanan orang Indonesia dan bulan Ramadhan, maka ini hanya bisa dipahami bahwa perlawanan umat Islam Indonesia dimotivasi oleh Islam mereka: “Kemarin (…) di dekat Anak-Guleng ( …) terjadi penembakan yang signifikan. (…) Puasa telah dimulai dan seorang jahat yang meninggal selama masa ini di prang sabil pasti akan masuk surga.” Belanda menggunakan istilah “jahat” (evil person) untuk Muslim yang mati syahid .

Selama bertahun-tahun, surat kabar Belanda terus menyalahkan Islam sebagai motivator perlawanan di Indonesia. Misalnya pada tahun 1904, surat kabar Het Nieuws van den Dag menulis:

“(…) Pada saat itu, seseorang memberi tahu dia bahwa benturan kekerasan telah terjadi di Sukabumi, yang menunjukkan kemiripan dengan pemberontakan di Sumedang dan Sidoarjo. Dia menganggap bahwa sumber dari pemberontakan ini adalah fanatisme.”

Dan di tahun yang sama surat kabar ini menulis tentang pemberontakan di tempat lain:

“Kekuatan disertai dengan fanatisme adalah sesuatu yang harus benar-benar kita pertimbangkan. (…) Akhir-akhir ini, kekuatan ini begitu besar, seperti yang bisa dilihat di Jambi, Korintji, Kepulauan Gaju. Tragedi di Tjilegon, seruan fanatisme di tempat lain, dan sekarang pemberontakan di Gedanggan, semuanya menjadi bukti. Keributan di Sidoarjo, yang pada dasarnya berada di bawah hidung dua pasukan kita, menunjukkan akan [berbahayanya] kekuatan ini. “

“Fanatisme di daerah Bantam” adalah berita utama di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1907

Pada tahun 1907, penyebab perlawanan tidak berbeda, menurut surat kabar Het Nieuws van den Dag:

“Di Serang, bahkan sebenarnya di seluruh wilayah Bantan, banyak orang yang bicara tentang pemberontakan yang terjadi baru-baru ini di Barong (…). Hal ini dapat dengan mudah dijelaskan, karena bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang ini mempraktikkan fanatisme dan bahwa tidak banyak yang dibutuhkan untuk memulai terjadinya gerakan perlawanan yang lain.”

Pada tahun 1908 juga sama:

“Sekarang kita tahu bahwa (…) lagi-lagi Sekte Mohammedan, Satria, yang berada di balik semua ini, yang sekali lagi memberikan bukti bahwa pemerintah Indonesia bertindak kurang begitu tegas terhadap fanatisme ini yang mendapat motivasi dari barat, yang merongrong kekuasaan kita, dan menyebabkan bahaya yang terus menerus terhadapnya. (…) Perang Suci melawan “kuffar” terus didakwahkan, dan hampir sama sekali tak terduga sebelumnya, pada pertengahan bulan ini lagi, sebuah perlawanan yang sangat serius meletus.”

Pada tahun 1910 surat kabar Sumatra Post menyalahkan Islam atas pemberontakan di Padang:

“Sejak hari-hari [Pemberontakan] itu, tanda-tanda fanatisme mulai banyak muncul, dan betapa banyak di daerah Priaman, di Negara Bagian Bawah Tanah Padang, yag menjadi tempat berkembang biaknya orang-orang fanatik Mohammed dari sekte Satria—yang menurut laporan resmi, juga bertanggung jawab atas perlawanan bersenjata pada tahun 1908.”

Komentar-komentar di surat kabar Belanda mengenai kasus perlawanan di Indonesia memperjelas tentang adanya konsensus di Belanda bahwa keIslaman orang Indonesia adalah penyebab semua ini. Islam dipandang Belanda sebagai akar permasalahan. Mereka bahkan tidak menyebutkan tentang nasionalisme.

Ini berarti bahwa buku sejarah hari ini di Belanda tidak hanya meremehkan perlawanan—ketika mereka mengatakan bahwa perlawanan hanya terjadi secara sporadis—Tapi mereka juga menggambarkannya dengan tidak tepat saat mereka mengatakan bahwa sumber utama perlawanan adalah karena aspirasi nasionalistik. Dan hal yang sama dapat dikatakan mengenai buku sejarah Indonesia saat ini: mereka menggambarkan perlawanan Indonesia melawan kolonialisme Belanda secara tidak benar ketika mereka mengatakan ini berasal dari aspirasi nasionalistik.

Source:
https://www.seraamedia.org/2017/05/23/media-kuno-belanda-fanatisme-islam-dan-khilafah-akar-utama-perlawanan-nusantara/


Minggu, 05 November 2017

Dinar Atjech

SISTEM EKONOMI TANPA RIBA TERNYATA PERNAH DITERAPKAN DI NEGERI INI

@siroh muslimin nusantara

Mungkin baru sebagian umat Islam Indonesia yang memahami bahwa praktek Riba ternyata telah sejak lama di haramkan berlaku di bumi Nusantara.

Tak sekedar hanya fatwa, dimasa Kesultanan Samudera Pasai masa Pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas (Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).

Dimasa Pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, telah diterbitkan mata uang Deureham, yaitu jenis mata uang terbuat dari koin emas. Menurut Alfian, Deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Mata uang ini berupa kepingan emas yang bertuliskan lafal arab tertentu dalam bahasa Arab (jawoe).

Periode selanjutnya pada masa Kesultanan Islam Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga mengeluarkan kebijakan dalam bidang ekonomi dengan mengeluarkan fatwa pengharaman praktek ekonomi riba di wilayahnya.

Mata uang dirham (perak) dan dinar (emas), yang juga disebut mata uang Islam, telah lama digunakan di dalam wilayah kerajaan- kerajaan islam Nusantara. Tome Pires, dalam “Suma Oriental” menuliskan bahwa masyarakat Pasai telah mempergunakan mata uang dari dinar dan dirham (deureuham), juga ada yang terbuat dari timah.

Dirham Aceh memiliki berat 0,57 gram kadar 18 karat dengan diameter 1 cm dengan huruf Arab di kedua sisinya. Adanya fakta sejarah berupa koin uang Dinar Emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi di Bumi Nusantara sejak lampau.

Selain Kesultanan Islam Aceh Darussalam, mata uang Dinar dan Dirham dan pengharaman terhadap riba, juga telah ada di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara lainnya seperti Kesultanan Banten, Kesultanan Banjar dan Kesultanan Demak.

AC Milner (sejarawan Belanda) mengatakan bahwa Aceh dan Banten adalah kerajaan Islam di Nusantara yang ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Hal ini bisa dilihat dari sejarah Kesultanan Islam Banten, yang pernah memberikan hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan bagi pencurian senilai 1 gram emas yang dilakukan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. 1651-1680 M.

Sebagai bagian dari Futuhat Khilafah Islam, Kesultanan Islam Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara dan memiliki UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan (Musyrifah Sunanto, 2005).

Sejak lama di Aceh sendiri telah lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf As-Singkeli yang menduduki jabatan Qadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil.

Sebagai seorang Qodi/hakim, Abdur Rauf As-Singkeli diminta Sultan untuk menulis kitab sebagai patokan (qânûn) berupa kitab (undang-undang) penerapan syariat Islam. Qonun tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.

Menurut Abdur Rauf As-Singkeli, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.

Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah.

Disamping Aceh, Kesultanan Islam Demak sebagai kerajaan Islam I di Jawa juga telah memiliki jabatan qadi (Hakim masalah Fiqh) di Kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud mengakui hal ini.

Di Kerajaan Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum di bawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan dihukumi menurut kitab Kisas, yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung.

Adanya Fakta sejarah berupa kitab (undang-undang) Qonun penerapan syariat dan Qodi tersebut menunjukkan bahwa sejak lama Negeri Nusantara telah mengenal syariat Islam dan telah menjadi bagian dari Futuhat Kekhilafahan Islam yang menghapuskan semua bentuk penjajahan dan menghilangkan praktek Riba di Negeri Nusantara.

Dilarangnya praktek Riba ini menjadi masalah besar bagi kaum Kolonialisme Belanda, karena Kolonialisme Belanda justru memberlakukan Praktek Riba dan menjajah wilayah negara jajahannya dengan memungut upeti dari rakyat. Sedangkan Futuhat Islam melarang praktek Riba dan tidak memungut upeti melainkan Zakat.

Oleh karena sebab itulah Kolonialisme Belanda terus berupaya secara masiv menggerogoti wilayah Futuhat Islam Nusantara dengan berbagai caranya untuk menghapuskan penerapan syariah Islam yang dianggapnya menganggu eksistensi Kolonialisme mereka.

Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda dalam upayanya menggerogoti Futuhat Islam Nusantara adalah dengan menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck Hurgronje. Snouck menyatakan dengan tegas bahwa musuh Kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama (H. Aqib Suminto, 1986) tapi Islam sebagai kekuatan Politik dan Ekonomi.

Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara:

Pertama:
Memisahkan Islam dengan politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial yang memisahkan antara Islam dengan Politik.

Kedua:
Membangun kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga:
Menyebarkan para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronje.

Dikeluarkanlah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi). Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar. (H. Aqib Suminto, 1986).

Sejarah mencatat bahwa kekuatan Kesultanan Islam di Nusantara, khususnya Kesultanan Islam Aceh Darussalam tak bisa dipisahkan dengan Kekhilafahan Turki Utsmani. Lukman Thaib, seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia,  mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan Futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam dunia yang memungkinkan bagi Kekhilfahan Turki Utsmani melakukan serangan langsung terhadap musuh yang menggangu Kesultanan Aceh.

Seiring dengan melemahnya kekuatan Futuhat Turki Ustmani sebagai sekutu militer Kesultanan Islam di Nusantara melawan kaum penjajah Belanda dan Portugis, maka wilayah Nusantara bak kehilangan induknya.

Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh pihak Kolonialis Belanda dengan mengacak-acak Kesultanan Islam di Nusantara, memberlakukan praktek riba yang menjerat rakyat pribumi dengan mewajibkan membayar upeti (pajak) serta menerbitkan mata uang baru versi Kolonialis Belanda.

VOC berusaha keras untuk menggantikan mata uang ini di Asia dengan dukat Belanda atau “satria perak” sesudah pertama-tama dibuat dalam tahun 1659.

Langkah Selanjutnya Belanda mendirikan De Javasche Bank yaitu lembaga cikal bakal Bank Central yang dicetuskan pertama kali Mr. C.T. Elout dan diwujudkan oleh Raja Willem I dengan menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826 yang memiliki kuasa untuk mengontrol sirkulasi uang dan menerbitkan mata uang kertas

Penggunaan kertas (Fiat Money) mulai diterbitkan oleh Belanda menggantikan dinar dirham setelah runtuhnya ke Khilafahan Turki Utsmaniyyah di awal abad ke 20.

Belanda meraup untung besar-besaran dengan menerbitkan uang kertas ini, karena mereka menerima penukaran koin emas dan perak yang ditukar dengan fiat money (uang kertas) dan koin emas dan perak hasil tukaran tersebut tak lagi diedarkan namun di lebur menjadi komoditas baru bagi Belanda.

Demikianlah, praktek riba besar-besaran yang telah dilakukan kolonialis Belanda. Syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular yang masih berlangsung hingga sekarang.

Walhasil, tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah Belanda, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah Belanda.

Wallahu 'alam bissowab..

Disarikan dari berbagai sumber sejarah terpilih..
Copy from FB Bpk Eko Yulianto Bontang
05 Nov 2017