Minggu, 05 November 2017

Dinar Atjech

SISTEM EKONOMI TANPA RIBA TERNYATA PERNAH DITERAPKAN DI NEGERI INI

@siroh muslimin nusantara

Mungkin baru sebagian umat Islam Indonesia yang memahami bahwa praktek Riba ternyata telah sejak lama di haramkan berlaku di bumi Nusantara.

Tak sekedar hanya fatwa, dimasa Kesultanan Samudera Pasai masa Pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas (Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).

Dimasa Pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, telah diterbitkan mata uang Deureham, yaitu jenis mata uang terbuat dari koin emas. Menurut Alfian, Deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Mata uang ini berupa kepingan emas yang bertuliskan lafal arab tertentu dalam bahasa Arab (jawoe).

Periode selanjutnya pada masa Kesultanan Islam Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga mengeluarkan kebijakan dalam bidang ekonomi dengan mengeluarkan fatwa pengharaman praktek ekonomi riba di wilayahnya.

Mata uang dirham (perak) dan dinar (emas), yang juga disebut mata uang Islam, telah lama digunakan di dalam wilayah kerajaan- kerajaan islam Nusantara. Tome Pires, dalam “Suma Oriental” menuliskan bahwa masyarakat Pasai telah mempergunakan mata uang dari dinar dan dirham (deureuham), juga ada yang terbuat dari timah.

Dirham Aceh memiliki berat 0,57 gram kadar 18 karat dengan diameter 1 cm dengan huruf Arab di kedua sisinya. Adanya fakta sejarah berupa koin uang Dinar Emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi di Bumi Nusantara sejak lampau.

Selain Kesultanan Islam Aceh Darussalam, mata uang Dinar dan Dirham dan pengharaman terhadap riba, juga telah ada di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara lainnya seperti Kesultanan Banten, Kesultanan Banjar dan Kesultanan Demak.

AC Milner (sejarawan Belanda) mengatakan bahwa Aceh dan Banten adalah kerajaan Islam di Nusantara yang ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Hal ini bisa dilihat dari sejarah Kesultanan Islam Banten, yang pernah memberikan hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan bagi pencurian senilai 1 gram emas yang dilakukan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. 1651-1680 M.

Sebagai bagian dari Futuhat Khilafah Islam, Kesultanan Islam Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara dan memiliki UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan (Musyrifah Sunanto, 2005).

Sejak lama di Aceh sendiri telah lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf As-Singkeli yang menduduki jabatan Qadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil.

Sebagai seorang Qodi/hakim, Abdur Rauf As-Singkeli diminta Sultan untuk menulis kitab sebagai patokan (qânûn) berupa kitab (undang-undang) penerapan syariat Islam. Qonun tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.

Menurut Abdur Rauf As-Singkeli, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.

Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah.

Disamping Aceh, Kesultanan Islam Demak sebagai kerajaan Islam I di Jawa juga telah memiliki jabatan qadi (Hakim masalah Fiqh) di Kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud mengakui hal ini.

Di Kerajaan Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum di bawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan dihukumi menurut kitab Kisas, yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung.

Adanya Fakta sejarah berupa kitab (undang-undang) Qonun penerapan syariat dan Qodi tersebut menunjukkan bahwa sejak lama Negeri Nusantara telah mengenal syariat Islam dan telah menjadi bagian dari Futuhat Kekhilafahan Islam yang menghapuskan semua bentuk penjajahan dan menghilangkan praktek Riba di Negeri Nusantara.

Dilarangnya praktek Riba ini menjadi masalah besar bagi kaum Kolonialisme Belanda, karena Kolonialisme Belanda justru memberlakukan Praktek Riba dan menjajah wilayah negara jajahannya dengan memungut upeti dari rakyat. Sedangkan Futuhat Islam melarang praktek Riba dan tidak memungut upeti melainkan Zakat.

Oleh karena sebab itulah Kolonialisme Belanda terus berupaya secara masiv menggerogoti wilayah Futuhat Islam Nusantara dengan berbagai caranya untuk menghapuskan penerapan syariah Islam yang dianggapnya menganggu eksistensi Kolonialisme mereka.

Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda dalam upayanya menggerogoti Futuhat Islam Nusantara adalah dengan menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck Hurgronje. Snouck menyatakan dengan tegas bahwa musuh Kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama (H. Aqib Suminto, 1986) tapi Islam sebagai kekuatan Politik dan Ekonomi.

Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara:

Pertama:
Memisahkan Islam dengan politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial yang memisahkan antara Islam dengan Politik.

Kedua:
Membangun kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga:
Menyebarkan para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronje.

Dikeluarkanlah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi). Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar. (H. Aqib Suminto, 1986).

Sejarah mencatat bahwa kekuatan Kesultanan Islam di Nusantara, khususnya Kesultanan Islam Aceh Darussalam tak bisa dipisahkan dengan Kekhilafahan Turki Utsmani. Lukman Thaib, seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia,  mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan Futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam dunia yang memungkinkan bagi Kekhilfahan Turki Utsmani melakukan serangan langsung terhadap musuh yang menggangu Kesultanan Aceh.

Seiring dengan melemahnya kekuatan Futuhat Turki Ustmani sebagai sekutu militer Kesultanan Islam di Nusantara melawan kaum penjajah Belanda dan Portugis, maka wilayah Nusantara bak kehilangan induknya.

Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh pihak Kolonialis Belanda dengan mengacak-acak Kesultanan Islam di Nusantara, memberlakukan praktek riba yang menjerat rakyat pribumi dengan mewajibkan membayar upeti (pajak) serta menerbitkan mata uang baru versi Kolonialis Belanda.

VOC berusaha keras untuk menggantikan mata uang ini di Asia dengan dukat Belanda atau “satria perak” sesudah pertama-tama dibuat dalam tahun 1659.

Langkah Selanjutnya Belanda mendirikan De Javasche Bank yaitu lembaga cikal bakal Bank Central yang dicetuskan pertama kali Mr. C.T. Elout dan diwujudkan oleh Raja Willem I dengan menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826 yang memiliki kuasa untuk mengontrol sirkulasi uang dan menerbitkan mata uang kertas

Penggunaan kertas (Fiat Money) mulai diterbitkan oleh Belanda menggantikan dinar dirham setelah runtuhnya ke Khilafahan Turki Utsmaniyyah di awal abad ke 20.

Belanda meraup untung besar-besaran dengan menerbitkan uang kertas ini, karena mereka menerima penukaran koin emas dan perak yang ditukar dengan fiat money (uang kertas) dan koin emas dan perak hasil tukaran tersebut tak lagi diedarkan namun di lebur menjadi komoditas baru bagi Belanda.

Demikianlah, praktek riba besar-besaran yang telah dilakukan kolonialis Belanda. Syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular yang masih berlangsung hingga sekarang.

Walhasil, tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah Belanda, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah Belanda.

Wallahu 'alam bissowab..

Disarikan dari berbagai sumber sejarah terpilih..
Copy from FB Bpk Eko Yulianto Bontang
05 Nov 2017


1 komentar:


  1. https://pokerbolamania.org/berita/trik-dan-tips-cara-menang-sabung-ayam-online
    Trik dan Tips Cara Menang Sabung Ayam Online – Sebelumnya kami akan menjelaskan asal mula permainan sabung ayam yang dipopulerkan di Indonesia
    WA : 0812-2222-995
    Line: cs_bolavita
    Telegram : t.me/bolavita

    Baca Selengkapnya Tentang Prediksi Skor Bola Hiburan : http://bit.ly/2k0sOfX

    BalasHapus